Selasa, 23 Agustus 2011

12 (Dua Belas) Hikmah Diwajibkannya Jilbab Bagi Wanita Muslimah, Beserta Ancaman Bagi Keluarga Yang Membiarkan Putrinya Berpakaian Minim Dan Tidak Berhijab


1.      Semua perintah Allah dan RasulNya apabila dikerjakan pasti membawa manfaat. Diantara manfaat jilbab bagi kaum wanita adalah sebagai berikut: Untuk membedakan antara wanita muslimah dan lainnya, berdasarkan firmanNya: “Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal”. Tentunya wanita muslimah lebih bangga dengan jilbabnya, karena inilah kemuliaan dari Allah.
2.      Jauh dari gangguan orang munafik dan laki-laki yang fasik, karena firman-Nya “karena itu mereka tidak diganggu” Wahai ukhti muslimah! Terimalah ketentuan Allah yang selalu belas kasihan kepada hambaNya.
3.      Mendapat ampunan dan rahmat dari Allah sebagaimana firman-Nya: “Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang “.
4.      Menjaga kesucian hati bagi kaum pria dan wanita. (Lihat keterangan surat Al-Ahzab: 53 di atas)
5.      Mewujudkan akhlak yang mulia, rasa malu, menghormati dirinya dan orang lain.
6.  Sebagai tanda wanita afifah, yakni wanita yang menjaga kehormatan dirinya dari hal-hal yang mengganggunya. Syaikh Bakr Abu Zaid berkata: “baiknya lahir seseorang menunjukkan baik batinnya”. (Lihat Hirosatul Fadhilah hal: 85).
7.      Memutus ketamakan dan bahaya syetan, karena dengan jilbab berarti menjaga masyarakat dari gangguan dan penyakit hati kaum pria dan wanita, dan mencegah perbutan zina.
8.     Menjaga sifat malu, hal ini merupakan perhiasan utama bagi wanita, jika rasa malu hilang, hilang pulalah kehidupan, karena haya’ yang berarti malu diambil dari kata hayat yang berarti kehidupan.
9.     Membendung wanita untuk bersolek, berhias diri di hadapan orang lain dan membendung pergaulan bebas serta menuju pembentukan masyarakat yang Islami.
10.  Menutup celah-celah perzinaan, sehingga wanita bukan merupakan makanan empuk bagi setiap penjilat.
11.  Wanita adalah aurat, sedangkan jilbab merupakan penutupnya.
Allah berfirman: Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi `auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat. (QS. Al-A’rof: 26).
12.  Membuat suami senang kepadanya. (Hirosatul Fadhilah hal. 84-88 ).

Ancaman Bagi Keluarga Yang Membiarkan Anggota Keluarganya Tidak Berjilbab
Seorang mukmin hendaknya menjauhkan dirinya dan keluarganya dari api neraka. Rasulullah r bersabda:
Ada tiga perkara, Allah mengharamkan mereka masuk sorga, yaitu pecandu khomer orang yang tidak taat dan addayus, yang menyetujui istrinya berbuat kejahatan. (HR. Ahmad 5839, Shahihul Jami’: 3052, 2/290)..

Addayyus yaitu orang yang mengetahui keluarganya melakukan perbuatan keji seperti zina dan lainnya, tetapi mereka malah mendukungnya atau mendiamkannya. Contoh lainnya lagi: Orang tua yang membiarkan putrinya bergaul bebas dan bersendagurau dengan pria yang bukan mahromnya. Suami setuju melihat isteri atau putrinya hanya berpakaian pendek, tidak berjilbab, atau membiarkan putri dan isterinya berhadap-hadapan dengan pria bercelana pendek saat nonton telivisi dan Iainnya. (Lihat Mukhtashor Al Kabaair Adz-Dzahabi: 36).

Minggu, 14 Agustus 2011

ASAL MULA ISTILAH NAMA INDONESIA

 
Pada mulanya, ketika manusia masih berada pada zaman purba, kepulauan tanah air kita ini disebut dengan berbagai macam nama. Dalam catatan bangsa Tionghoa (China) kawasan kepulauan kita pernah mereka namai dengan Nan-hai (Kepulauan Laut Selatan). Berbagai catatan kuno dari bangsa India menamai pula kepulauan ini dengan nama Dwipantara (Kepulauan Tanah Seberang), nama ini diturunkan dari bahasa Sansekerta, dwipa (pulau) dan antara (luar, seberang). Cerita mengenai Ramayana karya pujangga Valmiki itu menceritakan pencarian Sinta, istri Rama yang diculik Ravana (Rahwana), sampai ke Suwarnadwipa (Pulau Emas, sekarang Pulau Sumatera) yang terletak di Kepulauan Dwipantara. Bangsa Arab juga menyebut kepulauan kita ini dengan kata Jaza’ir al-Jawi (Kepulauan Jawa). 

Ketika zaman kedatangannya orang Eropa ke Asia. Bangsa-bangsa Eropa yang mulanya beranggapan bahwa Asia hanya terdiri dari Arab, Persia, India dan Cina. Menurut mereka, daerah yang terbentang luas antara Persia dan Cina semuanya adalah Hindia. Semenanjung Asia Selatan mereka sebut dengan Hindua Muka dan daratan Asia Tenggara adalah Hindia Belakang. Sedangkan tanah air kita mereka namakan Kepulauan Hindia (Indische Archipel, Indian Archipelago, l’ Archipel Indien) atau Hidia Timur (Oost Indie, East Indies, Indes Orientales). Nama lain yang juga dipakai adalah Kepulauan Melayu (Maleische Archipel, Malay Archipelago, l’ Archipel Malais).
Saat Belanda dating menjajah bangsa kita, mereka secara resmi mengatakan bahwa Negara jajahan mereka tersebut dengan nama Nederlandsche Indie (Hindia Belanda), sedangkan pemerintah Dai Nippon Japan (Pemerintah Pendudukan Jepang) memakai istilah To-Indo (Hindia Timur). Sedangkan Edward Douwes Dekker (1820-1887) yang juga dikenal dengan Multatuli, pernah mengusulkan nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan tanah air kita ini dengan Insulinde yang artinya adalah Kepulauan Hindia (diambil dari bahasa latin, Insula berarti pulau). Tetapi nama Insulinde tidak begitu populer, karena bagi orang Belanda nama Insulinde hanya dikenal sebagai nama took buku yang pernah ada di Jalan Otista.

Pada tahun 1920-an, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker (1879-1950), yang dikenal juga dengan nama Dr. Setiabudi (cucu dari adik Multatuli) memopulerkan nama untuk tanah air kita yang tidak mengandung unsur kara India, beliau sebut sebagai Nusantara. Istilah Nusantara sendiri sudah lama tidak digunakan sejak berabad-abad lalu. Beliau mengambil nama tersebut dari Pararaton (naskah kuno ketika zaman Majapahit yang ditemukan di Bali pada akhir abad ke-19 dan diterjemahkan oleh J.L.A. Brandes dan diterbitkan oleh Nicholaas Johannes Krom pada tahun 1920).

Namun pengertian Nusantara yang disampaikan oleh Dr. Setiabudi sangat jauh berbeda dengan pengertian ketika zaman Majapahit. Pada masa itu Nusantara digunakan untuk menyebut pulau-pulau di luar Jawa. Karena secara etimologi Nusantara berasal dari dua kata dalam bahasa Sansekerta, Nusa dan Antara. Nusa yang berarti kepulauan dan Antara yang berarti luar, seberang; sebagai lawan dari Jawadwipa (Pulau Jawa). Ketika itu Patih Gajah Mada juga pernah bersumpah “Lamun huwus kalah nusantara, isun amukti palapa” yang berarti “jika telah kalah pulau-pulau seberang, barulah saya menikmati istirahat”. Menurut Dr. Setiabudi kata Nusantara pada waktu itu berkonotasi rendahnya peradaban, karenanya diganti menjadi pengertian yang lebih nasionalis. Dengan mengambil pengertian dari bahasa Melayu asli, maka Nusantara dapat berarti “Nusa (kepulauan) di antara dua benua dan dua samudera”, sehingga Jawa pun termasuk kedalam definisi nusantara yang dikemukakan Dr. Setiabudi. Kata Nusantara sendiri yang dikemukakan beliau sangat cepat menjadi populer menjadi alternative nama dari kata “Hindia Belanda”.

Istilah Indonesia 

Pada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan bernama Journal of the Indian Archipelagi and Eastern Asia (JIAEA), yang dikelola oleh James Richardson Logan (1819-1869), orang Skotlandian yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Dan pada tahun 1849, seorang ahli etnolog berkebangsaan Inggris, George Samuel Windsor Earl (1813-1865), menggabungkan diri sebagai redaksi majalan JIAEA. Dalam JIAEA Volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations. Dalam artikelnya tersebut, ia menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia dan Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (a distinctive name), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Ia juga mengajukan dua nama, yakni : Indunesia atau Malayunesia (nesos dalam bahasa Yunani berarti pulau). Dalam halaman 71, dituliskan bahwa “… the inhabitants of the Indian Archipelagi or Malayan Archipelago would become respectively Indunesians or Malayunesians. Earl sendiri menyatakan memilih nama Malayunesia (Kepulauan Melayu) daripada Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab Malayunesia sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk ras Ceylon (Srilanka) dan Maldives (Maladewa). Karena juga bukan bahasa Melayu yang digunakan oleh kepulauan ini. Dalam tulisannya tersebut, ia menggunakan istilah Malayunesia dan tidak memalai istilah Indunesia. Dalam JIAEA Volume IV itu pada halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel The Ethnology of the Indian Archipelago. Pada awal artikelnya, Logan mengeluarkan pernyataan senada dengan Earl bahwa perlu adanya nama yang khas yang digunakan untuk menyebut nama tanah air kita tersebut, dan dia mengganti istilah “Indian Archipelago” yang dinilai terlalu panjang dan menggunakan istilah Indunesia yang digunakan oleh Earl kemudian menggantinya menjadi Indonesia, agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia untuk pertama kalinya di dunia dengan tercetak pada halaman 254 yang ditulis oleh Logan, katanya : Mr. Earl suggests the ethnographical term Indunesian, but rejects it in favour of Malayunesian. I prefer the purely geographical term Indonesia, which is merely a shorter synonym for the Indian Islands or the Indian Archipelago. Ketika menusulkan penamaan Indonesia, sepertinya ia tidak menyadari bahwa di kemudian hari nama tersebutlah yang dipergunakan untuk menyebut tanah air kita ini. Sejak itulah ia secara konsisten menggunakan istilah Indonesia dalam berbagai tulisannya yang kemudian lambat laun istilah tersebut menyebar di kalangan para ilmuan bidang etnologi dan geografi.

Pada tahun 1884, Guru besar etnolog di Universitas Berlin yang bernama Adolf Bastian (1826-1905) menerbitkan buku “Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel” sebanyak lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara ke tanah air pada tahun 1864 – 1880. Buku Bastian inilah yang kemudian mempopulerkan istilah Indonesia di kalangan sarja Belanda, sehingga awalnya sempat timbul kesan bahwa istilah Indonesia itu buatan Bastian. Pendapat ini sangat tidak benar, kalau kita melihat sejarahnya sebelumnya. Pernyataan senada juga dapat dilihat dari Encyclopedie van Nederlandsch-Indie tahun 1918 yang menyatakan bahwa istilah Indonesia itu diambil dari tulisan-tulisan Logan.
Di kalangan pribumi (orang Indonesia asli) yang awalnya menggunakan istilah Indonesia adalah Suwardi Suryaningrat atau lebih dikenal dengan sebutan Ki Hajar Dewantara. Ketika beliau di buang ke negeri Belanda pada tahun 1913, beliau mendirikan sebuah biro pers dengan nama Indonesische Pers-Bureau.
Pada tahun 1920-an, istilah Indonesia yang merupakan istilah ilmiah dalam ilmu etnologi dan geografi itu kemudian diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan tanah air kita, sehingga nama Indonesia akhirnya bermakna politis, yaitu menjadi identitas sebuah bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan.
Pada tahun 1922, atas inisiatif Mohammad Hatta, seorang mahasiswa Handels Hoogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda yang terbentuk pada tahun 1908 dengan nama Indische Vereeniging berubah nama menjadi Indonesische Vereeneging atau Perhimpoenan Indoenesia. Majalah yang organisasi tersebut terbitkan, yakni Hindia Poetra-pun ikut berganti nama menjadi Indoenesia Merdeka. Bung Hatta menegaskan dalam tulisannya bahwa “Negara Indonesia Merdeka yang akan dating (de toekomstige vrije Indonesische staat) tidak mungkin disebut Hindia Belanda. Juga tidak Hindia saja, sebab dapat menimbulkan kekeliruan dengan Negara India. Bagi kami (Bung Hatta dan kawan-kawan) nama Indonesia menyatakan suatu tujuan politik (een politiek doel), karena melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air di masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia (Indonesier) akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya.”
Sedangkan di tanah air sendiri, Dr. Sutomo mendirikan organisasi bernama Indonesische Studie Club pada tahun 1924. Tahun itu juga Perserikatan Komunis Hindia bergantu nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Dan pada tahun 1925, Jong Islamieten Bond membentuk kepanduan National Indonesische Padvinderij (NATIPIJ). Itulah tiga organisasi di tanah air yang mulai memperkenalkan istilah Indonesia. Dan akhirnya istilah Indonesia disepakati sebagai nama tanah air, bangsa dan bahasa pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indoenesia pada tanggal 28 Oktober 1928 yang dikenang dengan Hari Sumpah Pemuda.
Pada bulan Agustus 1939 tiga anggota Volksraad (Dewan Rakyat; sekarang namanya adalah DPR), yakni : Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo, dan Sutardjo Kartohadikusumo mengajukan mosi kepada Pemerintah Belanda agar nama Indonesia diresmikan sebagai pengganti dari istilah Nederlandsche-Indie (Hindia Belanda). Namun mosi ini tidak diterima.
Dan baru pada masa Dai Nippon Japan (Pemerintah Penjajahan Jepang) pada tanggal 8 Maret 1942, lenyaplah nama Hindia Belanda dan baru diresmikan pada 17 Agustus 1945, tepat ketika Proklamasi dikumandangkan dan pada hari itu pula dianggap bahwa Negara Indonesia telah berdiri, itu semuapun atas pengakuan dunia.

Selasa, 09 Agustus 2011

Mandala Kitri Scout Camp

Bagi Anda pecinta camping, Bumi Perkemahan Mandala Kitri bisa menjadi pilihan yang tepat. Diresmikan pada tanggal 20 Juni 1981 oleh presiden kedua RI, Soeharto, sejak Februari 2006 kawasan seluas ±17 ha ini berubah nama dan status menjadi Mandala Kitri Scout Camp dengan status Otonom dan menjadi Badan Usaha Milik Kwartir Cabang Gerakan Pramuka Cianjur (selanjutnya disebut MKSC). Berlokasi di sebuah kawasan yang menjadi pintu masuk Kebun Raya Cibodas dan bersuhu udara sangat dingin, kawasan camping ini meliputi Kebun Raya Cibodas, Gunung Gede-Pangrango, Gunung Putri dan Gunung Gegerbentang. Bagi Anda penggemar kegiatan air, terdapat Sungai Cikundul dan Waduk Cirata serta sungai Citarum di mana Anda dapat melakukan berbagai kegiatan air (watersport).
Lokasi: Jln. Kebun Raya Cibodas, Cimacan, Cipanas, Cianjur, Jawa Barat, Indonesia
Arah: 28 km dari arah Kota Cianjur, 114 km dari Kota Jakarta, dan sekitar 93 km dari Kota Bandung
Fasilitas:
tapak kemah

WC

fasilitas panginapan

aula

mushola

fasilitator outing